Intan Paramaditha Bergentayangan

Saya jatuh cinta pada Intan Paramaditha. Suaranya. Tulisannya.

Perkenalan pertama adalah Sihir Perempuan. Kumpulan cerita-cerita pendek tentang perempuan-perempuan penyihir. Dari Sindelaras—Cinderella—ke dukun santet. 

Sihir adalah kuasa. Wanita-wanita yang tidak sungkan untuk menggunakan sihirnya adalah berkuasa, tidak bisa dikendalikan oleh satu orang pria. 

Bukan perempuan baik-baik.

Pertemuan kedua adalah Gentayangan. Novelnya yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Inggris dan diterbitkan oleh penerbit besar di London (The Wandering, Harvill Secker/Vintage 2020). Di kencan kedua inilah saya benar-benar jatuh hati. Untuk pertama kalinya saya menemukan Sastra Indonesia–Sastra Jakarta–dari generasi 90-an yang bermutu. 

Kami, orang-orang Jakarta, yang tumbuh besar dengan masa kecil Orde Baru namun menjadi dewasa dan menikmati kebebasan relatif pasca reformasi, sering terjepit dua masa. Banyak yang nostalgia dengan masa remaja, di mana penggecetan—bullying—dianggap sebagai perekat solidaritas. Impian zaman itu sederhana: bisa punya rumah, punya mobil, punya anak, bisa jalan-jalan ke mal pada akhir pekan. Mimpi kelas menengah. 

Keluar negeri, apalagi ke negara-negara maju (Barat) hanya untuk kalangan elit. Mungkin itu kenapa lagu God Bless ‘Rumah Kita’ tercipta: untuk mensupresi keinginan rakyat, terutama kelas menengah, melancong. Atau sesederhana menghibur suatu impian tak sampai.

Apabila kita terkontaminasi pemikiran-pemikiran (demokrasi) Barat, niscaya kelas menengah Indonesia akan meminta akuntabilitas penguasa secara lebih kritis. Penguasa itu seharusnya memberikan pelayanan publik sebagai kontraprestasi pembayaran pajak, bukan adipati yang menerima upeti. Paspor itu bentuk timbal jasa, fasilitas dari pemerintah, karena sebagai warga negara kita punya ‘saham’ di negara. Bukan sekedar bukti kewarganegaraan atau tolok ukur nasionalisme (sehingga cuma boleh punya satu). 

Lalu datanglah era reformasi. Luar negeri menjadi lebih aksesibel dengan kehadiran maskapai penerbangan bujet dan ketersediaan informasi melalui internet. Namun tetap saja, dengan paspor Indonesia dan nilai tukar rupiah, tetap sulit bagi WNI menembus batas-batas internasional. 

Sementara semakin banyak orang-orang Indonesia, Jakarta, yang mencari makna dalam agama (Islam) yang menyesakkan. Setidaknya bagi orang-orang sekuler seperti kami. Saya merindukan hedonisme Mas Boy, namun tanpa kemunafikan ala Orde Baru. Saya mau ke Amerika. Eropa. Tidak perlu naik Ferrari, tidak perlu wisata belanja. Hanya perlu melihat dunia.

Intan menyuarakan aspirasi-aspirasi tersebut dalam fiksinya. Dari Malin Kundang ke Rumpelstiltskin, Holocaust, ke Gestapu, Hecate dan Raja Tikus, ia menjahit cerita-ceritanya tentang bergentayangan.

Tentang menjadi kosmopolitan.

Ini kali pertama saya membaca penulis Indonesia yang sanggup menunjukkan kemampuan mengolah motif dan mitos lokal dan Barat dengan begitu cantik. Bergaya kontemporer tanpa menjadi kekinian yang akan cepat usang.

Bahasa Indonesia Intan cerdas dan tidak pretensius. Realisme magis yang digunakan untuk melancarkan cerita-ceritanya tidak dipaksakan. Nilai-nilai feminisme yang ia advokasikan juga inklusif—ia tidak mendemonisasi cis heterosexual male. Bahkan Intan memahami mereka dengan sangat baik, sebagaimana tergambar melalui karakter-karakternya. 

Yudi si Marxis Eksploitatif. Bob si Orientalis. Kenny si Obsesif. Serta pria-pria tidak bermutu, Jakarta basic bro—mas bro Jakarta, yang tidak perlu repot diberi nama.

Gentayangan ditulis dengan format ‘Pilih Sendiri Petualanganmu’. Salah satu representasi era 90-an. Sangat sayang apabila kita tidak mencoba semua pilihan. Cerita-cerita Intan selalu membuat penasaran. 

Pilihan pertama saya selalu yang mengikuti rasa penasaran saya. Setiap tawaran Kekasih Iblis selalu saya terima. Meski berakhir tragis seringkali, namun lebih menarik (kecuali menjadi istri ustad selebritis–itu benar-benar definisi ‘neraka’). 

Saya kerap kembali ke halaman persimpangan. Ini indahnya fiksi, tidak seperti kehidupan nyata, saya bisa memutar balik waktu-tempat dan mencoba pilihan berbeda. Tidak perlu dihantui ‘gimana kalau…’

Membaca Intan ini seperti membaca Salman Rushdie. Ya, ini pujian tertinggi saya. Layaknya saya memuji Mahfud Ikhwan seperti membaca George Orwell. 

Sebagaimana disampaikan Bob, akhirnya ada penulis Indonesia perempuan yang menembus batas. Selamat bergentayangan Intan!