Tag: lpdp

Catatan Karir Praktisi Hukum Penyelesaian Sengketa

Saya menulis esai ini sebagai materi presentasi untuk Passion Playground Festival pada 28 November 2020. Saya ragu apakah mempublikasikan esai ini merupakan “masturbasi di depan umum.” Saya diberikan panggung untuk berbicara tentang diri sendiri. Saya tentu suka perhatian—bagaimanapun sisi narsistik saya cukup kuat. Namun, saya cukup mawas diri bahwa tidak ada orang yang lebih membosankan dibandingkan orang yang membanggakan diri sendiri. Kepercayaan diri yang berlebihan itu hanya dimiliki anak-anak, orang bodoh, atau sosiopat. 

Sejujurnya, saat dihubungi Vooya untuk memberikan presentasi soal profesi arbitrator, impostor syndrome saya menyerang dengan kuat. Masih banyak rekan-rekan seumuran saya di industri jasa hukum yang lebih bersinar dan berdedikasi. Di sisi lain, pengalaman hidup saya (dan Sun Tzu) mengajarkan bahwa setiap kesempatan harus diambil karena akan berlipat. “Opportunities multiply as they are seized.” Jadilah saya, dengan modal pengalaman dan keahlian yang tentunya terbatas, berusaha menginspirasi (sial, saya akhirnya menggunakan kata klise ini) remaja-remaja Generasi Z (atau mungkin mereka sudah termasuk generasi selanjutnya?). 

Menulis esai ini saya mesti menggali memori saya dan kembali ke saya yang dulu. Ternyata, hal ini secara langsung menjadi sebuah grateful exercise. Saya diingatkan bahwa saya sekarang mendapatkan sebagian besar hal yang saya inginkan waktu [lebih] muda. Kalaupun ada yang meleset atau berbeda, keinginan saya pun sudah banyak berubah. Saya pribadi melihat perubahan-perubahan keinginan saya tersebut sebagai evolusi menjadi pribadi yang lebih baik, menjadi lebih bijaksana, cerdas, dan dewasa.

Selain itu, kalimat-kalimat yang saya gunakan cukup idealis—terutama mengenai reformasi yudisial Indonesia. Sebagaimana semua yang hidup di Indonesia tahu, menjadi idealis di Indonesia bukan hal yang mudah. Di titik tertentu dalam hidup, ada yang namanya realitas sosial dan institusional. Sangat mudah untuk menjustifikasi tindakan atau partisipasi korup kita sebagai suatu pragmatisme, sebagai suatu keharusan dalam “bertahan hidup”; menafikan idealisme dan kebaikan sebagai suatu kemunafikan dan/atau kenaifan. Semoga dengan mempublikasikan esai ini saya mempunyai semacam landasan akuntabilitas dalam menjalankan profesi ini seidealis mungkin.

#

Saya akan jujur. Alasan saya menjadi pengacara, advokat istilah resminya, adalah uang. Saya tumbuh dan besar di Jakarta, di keluarga yang bisa dibilang selalu kesulitan keuangan karena besar pasak daripada tiang. Bukan, orangtua saya tidak bisa dibilang di bawah garis kemiskinan. Kami bisa punya rumah dan mobil, tapi hasil utang sana-sini dan pemberian keluarga.

Dulu saya cuma tahu cara hidup gaya (kelas menengah ngehe) Jakarta. Bisa punya mobil untuk pergi ke mall; makan di restoran cepat saji atau waralaba yang hidangannya sedang-sedang saja namun harganya tidak murah juga. Yang penting di mall, terlindung dari sengat matahari dan polusi. Idealnya beberapa bulan sekali ganti handphone, setiap lima tahun ganti mobil.

Namun, keluarga saya tidak sanggup untuk itu. Ibu saya bilang, kalau mau begitu harus cari kerja yang gajinya besar.

Di keluarga besar saya, om atau tante yang gaji atau penghasilannya besar itu kerja di Bank atau di perusahaan minyak/tambang. Kuliahnya ekonomi atau teknik. Masalahnya saya lemah di mata pelajaran sains waktu sekolah. Mafia (matematika, fisika, kimia) menjadi momok menakutkan saat ujian dan terima rapor.

Setelah krisis ekonomi yang berujung juga pada reformasi 1998, banyak pengacara menjadi sorotan media. Saya pikir mereka kelihatan keren: percaya diri mengenakan kemeja, jas, dan dasi. Berkantor di suatu gedung di kawasan komersial Jakarta. Cuap-cuap soal saham, obligasi, pailit, BLBI, BPPN, HAM, gugat, banding, kasasi; mewakili pejabat ini dan konglomerat itu.

Pasnya lagi: fakultas hukum itu jurusan ilmu sosial. Keahlian hitung menghitung bukan persyaratan (walaupun tentunya membantu). Aha! Saya pikir saya cocok menjadikan profesi pengacara sebagai cita-cita!

Tapi tunggu dulu. Dalam keluarga besar saya belum ada yang jadi pengacara. Menurut persepsi mereka pengacara di Indonesia itu bukan orang-orang baik (mengingat carut marut dan korupnya sistem peradilan di Indonesia). 

Selain itu, pengacara kan harus pintar berbicara. “Lo kan cadel, mana bisa pintar berbicara?” cibir beberapa teman. 

Komentar penghambat lain, “lo juga bukan orang Batak. Mana ada pengacara sukses bukan orang Batak.” 

 Saya tidak peduli saat itu. Biarlah dianggap “bukan orang baik”, yang penting uang banyak (dengan standar kelas menengah Jakarta). Soal saya cadel, saya jadikan pengacara senior Bang Todung Mulya Lubis sebagai role model untuk meyakinkan diri bahwa kecadelan bukan hambatan. 

Saya mantapkan memilih Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada saat SPMB. Diterima. 

Saat kuliah di FHUI, saya terkagum-kagum melihat teman-teman yang merupakan anak-anak dari pengacara dari firma hukum besar di Jakarta. Mereka ke kampus dengan mobil mewah, uang sakunya besar. Alumni-alumni yang bekerja di firma-firma hukum pun menjual profesi mereka, iming-iming utama: gaji besar. Semakin mantap lah cita-cita sebagai pengacara. 

Sebagai mahasiswa hukum, saya baru tahu bahwa pada dasarnya ada dua jenis pengacara: penyelesaian sengketa (biasa disebut litigator) dan transaksi (biasa disebut sebagai corporate lawyer). Litigator itu yang beracara di pengadilan, kadang mengenakan toga kalau perkara pidana. Sedangkan, corporate lawyer itu yang mengurus transaksi komersial antar perusahaan. 

Stereotipe bahwa litigator Indonesia itu orang Batak tidak dapat dipungkiri, nama-nama seperti Lubis, Hutapea, Pangaribuan, Sitompul mendominasi. Hal ini membuat saya sempat berpikir, mungkin lebih baik menjadi corporate lawyer mengingat faktor kesukuan tersebut. Apalagi pembawaan saya memang kurang gahar.

Lulus sebagai sarjana hukum, saya diterima kerja di suatu firma hukum yang relatif baru berdiri di bilangan SCBD. Kebetulan firma hukum tersebut menangani transaksi komersial maupun penyelesaian sengketa. Saat itu mereka sedang membutuhkan junior associate untuk penyelesaian sengketa.

Meskipun direkrut untuk tim penyelesaian sengketa, saya juga beberapa kali mendapat pekerjaan corporate lawyer. Saya langsung sadar kalau saya memang lebih cocok menjadi litigator. Saya kurang betah berada di dalam kantor terlalu lama. Saya juga suka melihat hal-hal yang “seru”: gedung pengadilan yang tersebar di seantero kepulauan Indonesia, kantor polisi, penjara, daerah pertambangan dan perkebunan.

Ternyata memang benar sistem peradilan Indonesia segitu korup dan carut-marutnya. Di satu sisi saya senang bisa melihat dan mengalami langsung “kenyataan yudisial Indonesia”, namun di sisi lain saya sering frustrasi harus berkali-kali berurusan dengannya. Pada satu titik, saya melihat korupsi dan ketidakadilan pada umumnya sebagai suatu hal yang wajar.

Pada 2010, saya ditempatkan di firma hukum Singapura yang terafiliasi selama 3 bulan. Singapura negara maju dan kaya, namun kesenjangan sosialnya rendah. Dengan infrastruktur yang baik, kehidupan sehari-hari lebih manusiawi: naik transportasi umum nyaman dan tidak dipandang rendah seperti di Jakarta. Pemerintahan Singapura memiliki skor indeks persepsi korupsi yang sangat baik, salah satu negara paling tidak korup di dunia, dan peradilannya independen sehingga terpercaya untuk penyelesaian sengketa komersial internasional. Bahkan bisa dibilang kemajuan Singapura menjadi satu-satunya negara maju di Asia Tenggara adalah karena reformasi peradilannya pada 1990-an.

Sepulang dari Singapura, saya sadar bahwa korupsi dan kesenjangan sosial di Jakarta (dan Indonesia pada umumnya) bukan hal yang normal. Masih umum, namun perlu diperbaiki. Sebagai litigator, tentu cara saya berkontribusi dalam perbaikan adalah di bidang sistem peradilan. Namun bukankah naif untuk menjadi litigator yang tidak turut serta dalam carut marutnya peradilan Indonesia?

Beberapa bulan setelah kembali, saya diterima bekerja di firma hukum yang didirikan Bang Todung Mulya Lubis. Selain menunjukkan bahwa cadel bukan hambatan, beliau merupakan contoh bahwa pengacara Indonesia bisa berpraktik secara efektif (dan sukses) meski abstain dalam praktik suap-menyuap. Bahkan, kalau jujur, jadi pengacara “hitam” juga tidak menjamin sukses (kaya). Terlihat kaya, mungkin—ada rekan sejawat kemana-mana menggunakan mobil mewah, ternyata sewaan.

Saya menyadari bahwa sehebat-hebatnya pengacara, advokat, penasihat hukum, counsel, lawyer pada akhirnya yang menjatuhkan putusan adalah hakim juga. Bagaimanapun, inti dari sistem peradilan adalah sang pemutus. Namun, saat saya memulai karir, saya yakin tidak bisa menjadi hakim yang baik dengan remunerasi yang ditawarkan. Saya juga tidak akan tahan dalam birokrasi yang kompleks kehidupan pegawai negeri.

Dalam mendalami praktik litigasi dan penyelesaian sengketa, terdapat mekanisme penyelesaian sengketa yang namanya arbitrase. Pada dasarnya arbitrase ini peradilan swasta, di mana para pihak dapat memilih “hakim” untuk memutus sengketa (disebut sebagai “arbitrator” atau “arbiter”). Mekanisme ini berdasarkan undang-undang dan didukung lembaga peradilan negara (Mahkamah Agung).

Untuk menjadi hakim di Indonesia, sesorang harus berkarir di Mahkamah Agung. Namun, setiap orang yang telah berpraktik dalam satu profesi selama jangka waktu tertentu dan memiliki keahlian di bidang tertentu dapat menjadi arbitrator. Orang tersebut dapat ditunjuk untuk mengadili asalkan tidak memiliki konflik kepentingan dan bersikap imparsial terhadap para pihak dan sengketa yang akan diputusnya.

Saya sendiri berulang kali menjadi counsel salah satu pihak dalam perkara-perkara arbitrase maupun litigasi yang terkait arbitrase, domestik dan internasional. Pernah mewakili pemerintah suatu negara Asia Tenggara dalam sengketa terkait pengadaan program satelit pertahanannya (perkara arbitrase biasanya bersifat tertutup untuk umum, sehingga rahasia).

Arbitrase itu cenderung lebih efektif dan dinamis. Proses persidangannya lebih fleksibel dan tidak sekaku perkara-perkara di hadapan pengadilan. Mengingat para pihak dapat menunjuk siapapun yang memiliki kualifikasi , arbitrator biasanya merupakan ahli di bidang yang menjadi pokok sengketa. Jadi tidak terbatas pada ahli di bidang hukum. Perkara konstruksi biasanya memiliki arbiter seorang engineer. Sengketa di bidang keuangan, arbiter dengan latar belakang valuation, finance and accounting. Sehingga, pemeriksaan perkaranya juga lebih canggih.

Salah satu hal paling menyenangkan dalam menangani berbagai perkara untuk klien-klien dengan latar belakang yang berbeda adalah meluasnya wawasan saya. Dalam menangani suatu perkara, saya harus memahami industri atau bidang-bidang keilmuan yang menjadi pokok sengketa. Saya pernah harus memahami materi terkait biokimia karena menangani kasus terkait bioremediasi tanah terkontaminasi minyak mentah.

Arbitrase juga mengurangi beban administrasi perkara Mahkamah Agung. Dengan adanya proses peradilan ditangani secara partikelir, meskipun hanya terbatas pada perkara-perkara komersial, pengadilan dapat menghemat sumber dayanya.

Itulah mengapa saya memutuskan untuk menjadi arbitrator. Saya memilih mengambil kuliah S2, jurusan Master of Laws di Queen Mary University of London (QMUL). Universitas tersebut memiliki School of International Arbitration, bisa dibilang sekolah arbitrase terbaik di dunia. 

Saya juga memilih Inggris karena ingin memahami lebih baik sistem hukum common law. Selain itu, ada sisi anglofilia saya: masa remaja saya diwarnai dengan Britpop dan musik alternatif. Sebagian besar band favorit saya berasal dari Britania: Coldplay, Suede, Muse, Oasis, The Cure, Florence + The Machine. Beberapa penulis favorit saya juga dari Britania: George Orwell, Salman Rushdie, Richard Dawkins, dan Bernadine Evaristo. Beruntung saya bisa tembus seleksi beasiswa LPDP dan memperoleh uang saku tambahan dari kantor saya waktu itu. Sehingga saya bisa fokus belajar, merasakan hidup di London dengan layak, dan jalan-jalan sekitar Inggris dan Skotlandia sampai ke Eropa kontinental.

Lulus dari QMUL dengan gelar Master of Laws, saya juga memperoleh gelar Member of Chartered Institute of Arbitrators (karena ada pengakuan dan persamaan kualifikasi). Sebagaimana mahasiswa penerima beasiswa yang kembali ke tanah air, saya langsung dihadapkan dengan realitas bahwa ilmu tinggi yang kita pelajari belum siap untuk diterapkan. Arbitrase domestik Indonesia masih sekedar memindahkan cara persidangan di pengadilan, belum seluwes persidangan arbitrase internasional di SIAC (Singapura) atau HKIAC (Hong Kong). Bahkan sedihnya, perkara arbitrase terkait Indonesia yang memiliki elemen internasional cenderung tidak ditangani oleh lawyer Indonesia, namun oleh lawyer asing. Arbiternya pun asing, meski hukumnya berdasarkan hukum Indonesia.

Namun, memang harus diakui bahwa, sayangnya, masih banyak pengacara Indonesia yang tidak bisa berbahasa Inggris. Bagaimanapun juga, Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional untuk bisnis. Pengacara Indonesia juga cendurung chauvinistik dan positivis: tidak terbuka terhadap konsep hukum asing atau tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Selain itu, terdapat kekurangan regenerasi dalam lembaga-lembaga arbitrase Indonesia. BANI misalnya, sampai saat ini sangat jarang—bahkan tidak ada—arbiter dalam daftarnya yang berusia di bawah 40.  Regenerasi juga bukan merupakan masalah di Indonesia saja. Sebagian besar arbiter-arbiter di dunia demografinya masih senior white males (berumur, laki-laki, dan kulit putih). 

Oleh karena itu, saya bersyukur bahwa Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) mengadakan seleksi secara terbuka dan inklusif. Setiap orang yang memiliki kualifikasi dapat mendaftar. Saya lulus seleksinya, namun masih harus menunggu 2 tahun untuk terdaftar karena persyaratan jangka waktu praktik 15 tahun.

Saya berharap adik-adik mau mempertimbangkan profesi ini. Indonesia perlu pemuda-pemudi berbakat untuk berkontribusi dalam reformasi yudisial. Menurut saya, salah satu keuntungan profesi pengacara/arbitrator ini adalah bisa mengejar uang sekaligus berkontribusi dalam pembangunan negara melalui jalur reformasi hukum.  

Profesi ini juga bisa dibilang future proof. Meskipun teknologi blockchain sudah memungkinkan adanya smart contract, yang bisa melaksanakan perpindahan uang apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, banyak kontrak yang pelaksanaannya tidak bisa hanya di dunia maya saja (misalnya pekara konstruksi). Selain itu, smart contract membutuhkan para pihaknya untuk melakukan deposit dana agar bisa dilaksanakan. Hal ini menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit bagi pelaku usaha.

Profesi ini juga mungkin terlihat kurang fun karena sifatnya formal dan serius serta cenderung “tradisional” (lawyer merupakan salah satu profesi tertua di dunia); sulit membayangkan bahwa kita bisa passionate akan sesuatu yang seserius hukum. Saya sendiri ada momen-momen di mana kesal dan stres harus membaca atau menulis dokumen setebal ratusan (bahkan pernah ribuan) halaman. Ingin rasanya saya beralih ke pekerjaan yang tidak perlu berpikir keras dan seperti bermain. Namun, saya belajar bahwa passion itu bukan sekedar excitement. Asal kata “passion” sendiri berasal dari bahasa latin “pati” yang artinya “menderita.” Passion itu adalah sesuatu yang kita rela menderita dalam memperoleh atau menjalankannya. Kalau kita menjalankan sesuatu karena fun, itu namanya hobi.

Selain itu, passion kita bisa jadi lebih abstrak dari sekedar karir atau profesi kita. Saya pribadi passion-nya melanglang buana, bertemu orang-orang menarik, menemukan ide-ide atau konsep baru yang mengubah cara berpikir serta berbagi pengalaman mengenai eksistensi kita. Profesi yang saya jalankan saat ini merupakan sarana untuk menjalankan passion saya tersebut. Profesi ini memberikan saya keleluasaan finansial untuk mendanai perjalanan saya dan membeli buku-buku. Profesi ini juga memaksa saya untuk mengasah otak, menambah pengetahuan, dan membaca karakter manusia. Saya bertemu dengan berbagai macam manusia dengan kepribadian yang menarik: pejabat jujur dan korup, gangster yang berkarakter, bule naif dan tukang tipu, bilyuner dan buruh miskin.

Dan karenanya, saya rela menderita untuk profesi ini.

* * *

Meet Your Common Scholar

When my scholarship application was successful, Bapak (dad) gave me a book: ‘Pengalaman Belajar di Amerika Serikat’ by Arief Budiman. The book was first published in 1991. It’s the author’s memoir of his struggles when studying in the Harvard University as a scholarship student.

 

The book is inspiring and moving. The typical feel good story of the happiness of pursuit, against all odds and of the underdog. A story of scholar from a less developed country overcoming not just academic challenges and financial limitations, but also language barrier and cultural shock, in pursuing education in a Western more developed country.

 

Then Bapak told me that I should write a book on my studies in London. Well, not that I don’t want to. I have so much stories from my London year, but they do not have the dramatic flair of Arief Budiman’s stories (or Andrea Hirata’s, if you prefer the newer version of struggling Indonesian scholar). While  I had to be smart with money, we never had to huddle together in bulky winter clothes to keep ourselves warm to save on heating during winter time.

 

The ‘study abroad’ narratives that ‘sell’ to Indonesians fall within these two ‘extremes’: the struggling scholar or the trust fund baby. The stereotype of struggling scholars are diligent students with stellar academic performance from their elementary school, devoted to his/her parents who invested a lot on their child’s education despite their poverty, and religious. The trust fund babies are represented by members of a tycoon family or political dynasty and ideally religious too e.g. Mas Boy of Catatan Si Boy or (god forbid) London Love Story.[1] The struggling scholars must live in a cheap suburban accommodations, the trust fund babies live in luxury house or condo in a prime area (purchased, not rented) with luxury cars at their disposal. However, both seem to hang out exclusively or mostly with fellow Indonesians due to cultural and economic gaps. The struggling scholars tend to shun and cannot afford ‘hedonistic’ (I prefer the term, epicurean) lifestyle of common Western students. While the trust fund babies find themselves unable to relate with other students who are (mostly) proletarians.

 

Now, I do not fit in to both stereotypes. I am a scholarship recipient, but I am not a struggling scholar. My LPDP scholarships award was generous, not excessive but sufficient. They covered at cost visa application and return tickets, full tuition fee, fixed living costs and book allowance, capped dissertation allowance and partial dependent support. I got additional stipends from Lubis, Santosa & Maramis, the law firm I worked for. I could afford to live in a private studio flat in WC1 area with my partner, travelled to some parts of Britain and Continental Europe as well as Morocco, eat out, socialising and engaging in epicurean lifestyle and even got a tattoo from London’s premium parlour. But of course I could not bask in luxury. I bought my clothes at charity shops (tip: browse the charity shops in rich area).[2] When my smartphone broke, I did not buy the newest iPhone but a Nokia.

 

I was far from diligent student profile. I flunked in mathematics, physics, chemistry (the “Mafia” subjects—matematika, fisika, kimia— dreaded by most students during high school who are weak with numbers) in high school. Joined the school’s gang. I was an okay undergraduate student. I compensated my academic performance with professional experience to get the scholarship. Spiritually, I am deeply irreligious. Socially, most of my friends in London are not Indonesians.[3]

 

But perhaps that exactly I need to take my part in filling the narratives gap for the common scholars. I think most Indonesian scholars of my generation are like me. After all, we live in an age of smartphones where the entire human knowledge is accessible one click away, international university applications are submitted online, and cheap air travels. Of course, I am not inferring that inequality has been addressed. To the contrary, inequality is the main reason why international students typically come from rich or middle class family. One of my fellow LPDP scholars is from a remote village with no electricity, and it has been an almost insurmountable handicap for him to study abroad.

 

Maybe some people find that the trust fund babies narratives are too superficial. While the struggling scholars narratives tend to entertain the Jesus Complex mentality—the notion that the more one suffers, the more virtuous one must be.[4] But the common scholar (i.e. my) narratives will be like this:

 

  • I have to take the Underground and the Routemaster bus to get around London (last time I check, even Kit Harrington also uses them so hardly count as a struggle—except the Central Line during summer);[5]
  • I have to do farmers’ walk i.e. lugging the baskets of groceries from Waitrose Brunswick (yes, I am a supermarket snob who shops at Waitrose);[6]
  • We also need to shop for our monthly meat, poultry and fish supplies at Brixton Market—which is lovely and so full of life, we always share pleasantries with the shopkeepers who are as diverse as London can get: English butchers, Afghani fishmongers, Caribbean grocers.
  • I learned to become a handyman to fix the wall tiles from YouTube and some tips from a local hardware supplies store owner; and
  • I studied hard—hardest in my entire life, battling anxiety, minor depression, infatuation, sense of inadequacy, the dread of returning to Jakarta, relationship strains, and many other form of insecurities. All of them are common human experience. But they are mine.

 

 

Well, are they inspiring enough?

 

Our flat building in spring

[1] I did not watch the movie. My snap judgment on the trailer tells me that it would ruin my London memories.

[2] It’s not just about the saving money. I can get good value items compared to cheap retailers, reduce environmental footprints and contribute to good causes.

[3] Just to be clear, I do have Indonesian friends in London. We were even adopted by our host family who are Indonesian-Italian. However, I did make the conscious effort to make friends with people from all around the world simply because I was in London. I don’t want to miss the opportunity to sample the diversity and multiculturality just because I’m afraid of cultural gaps and minor language barrier (last time I check, we all need to achieve certain level of fluency in English to be admitted). This is a chance to shrug off the ‘inlader’ mentality that is so pervasive in my Indonesian psyche.

[4] Alain de Botton, Essays in Love (Picador: 2015).

[5] In fact, not having to drive everywhere was extremely convenient for someone who grew up in the seventh hell of traffic: Jakarta.

[6] My motto was ‘In reduced, we trust’. In fact, Waitrose is the most frequented place by us in London. We went there at least once a day.

Arbitrator’s Conduct on Social Media

My LLM dissertation “Arbitrator’s Conduct on Social Media” has been published in Journal of International Dispute Settlement (JIDS). The target audience is academic and practitioners in the field of arbitration. However, I tried to write it to be understood by general public to the extent an academic article could possibly be written in layman terms.

 

I did not record how many hours I spent working in this article. As an LLM student, there was no requirement for me to fill in timesheet. In retrospect, maybe I should have recorded the time spent ‘working’ on LLM my studies. That way I could have quantified (albeit not exact or perfect) the amount of hours converted to money I am investing in my academic and professional development.

 

I remember the hardest part of writing was finding the topic. One winter early morning (that’s 3am), I woke up and started writing a concept for dissertation topic. It was about comparative private international laws in South East Asia. I worked on that concept for hours. However, in the end, I jettisoned the concept when I found that nobody has ever written about Arbitrator’s Conduct on Social Media.

 

When writing the article, I tried to make it as regular as work. I started coming to the library at 10am and finished at 5pm, no matter how little I wrote that day. Of course, there are “overtimes” when I got the inspiration. I even worked to 3am, missing the only morning London was covered in snow during my LLM year, before a meeting with my supervisor to ensure it will be an effective one.

 

I got a distinction for the dissertation. However, when I sent it to JIDS, they request “major” revision. The request was given with comments and suggestions from high calibre academics that did not sugarcoat anything, pointing every deficiency in my writing. I admit my heart sank and I was distressed that the distinction grade does not guarantee publication. Nevertheless, those comments and suggestions are the constructive criticisms I needed.

 

I submitted the first draft manuscript on October 2015, after much revisions I finally got the unconditional offer of publication on December 2016. Therefore, I spent more than two years on this article.

 

I would like to say that this is another gift from London. However, I realised it is not. It is a reward, but I earned it. I paid for it in full.

 

You can read the full text article here. Alternatively, you can download the pdf copy JIDS-2017-Sanubari-idw026

 

Your comments and criticisms are highly appreciated.

 

I am happy that I contributed something to the development of law. I received so much and it feels good to give back something. To create something that will be a precedent. I stood on the shoulders of giants. And it feels good knowing someone will stand on my shoulders.

 

P.S. I still regret that I did not wake up to see the snow (see picture, taken by @adindaaditha). Come to think of it, I should have been okay if I was sleep deprived for one day.

Snow in Tavistock Court

Originally posted on Instagram on 19 January 2017.